Masa transisi pemerintahan dari Soekarno ke Suharto pada 1967 diwarnai berbagai gejolak multidimensi. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi adalah krisis ekonomi dengan inflasi yang mencapai 600%. Namun, di awal pemerintahannya, Suharto berhasil menekan inflasi hingga mendekati nol, sebuah pencapaian yang menarik perhatian dunia internasional, termasuk Amerika Serikat.
Menurut dokumen deklasifikasi bernomor EO 12958 yang dirilis oleh National Security Archive (NSA) milik George Washington University, perhatian AS terhadap Indonesia di masa itu sangat besar. Dalam memorandum Menteri Luar Negeri Henry Kissinger kepada Presiden Richard Nixon tertanggal 18 Juli 1969, disebutkan rencana diplomasi AS untuk mendukung pembangunan ekonomi Indonesia. AS memanfaatkan Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) sebagai salah satu instrumen utama.
Henry Kissinger dalam kunjungannya ke Indonesia pada 27-28 Juli 1959
IGGI, yang terdiri dari 16 negara sekutu AS dalam Blok Barat, memberikan bantuan keuangan kepada Indonesia dalam bentuk hibah dan pinjaman. Data dari jurnal Bulletin of Indonesian Economic Studies yang ditulis G.A. Posthumus menunjukkan bahwa selama periode 1967-1972, IGGI mengucurkan dana sebesar $167,3 juta hingga $670 juta setiap tahunnya. Dana tersebut menjadi fondasi awal pembangunan ekonomi Indonesia di bawah rezim Orde Baru.
Halaman pertama Arsip EO 12958
Salah satu tokoh kunci dalam pengelolaan ekonomi Indonesia pada masa itu adalah Widjojo Nitisastro, seorang ekonom lulusan University of California, Berkeley. Pemikirannya yang dipengaruhi oleh teori ekonomi Amerika menjadikannya tokoh sentral dalam hubungan ekonomi Indonesia dengan negara-negara Barat. Dokumen Telegram Confidential 948 dari Kedutaan Besar AS di Jakarta pada 1972 menyebutkan bahwa Widjojo memiliki hubungan erat dengan pemerintah AS, bahkan pengaruhnya dianggap mampu melunakkan persyaratan utang IGGI. Pada 1972, Widjojo berhasil membawa komitmen pinjaman IGGI sebesar $900 juta untuk Indonesia.
Halaman pertama Telegram Confidental 948
Namun, booming minyak yang meningkatkan perekonomian Indonesia pada awal 1970-an membuat IGGI memperketat persyaratan pinjaman. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah Orde Baru mulai mencari sumber dana alternatif. Menurut laporan Tempo edisi 28 September 1972, Menteri Keuangan Ali Wardhana menghadiri pembentukan Islamic Development Bank (IDB), sementara Menteri Luar Negeri Adam Malik melakukan kunjungan ke negara-negara Blok Timur seperti Yugoslavia dan Polandia untuk menjajaki kerja sama baru.
Artikel majalah Tempo tentang pencarian alternatif kredit selain IGGI
Langkah-langkah tersebut menunjukkan upaya serius pemerintah Orde Baru dalam membangun perekonomian nasional melalui berbagai sumber pembiayaan, baik dari Blok Barat maupun Blok Timur. Di balik dinamika hubungan diplomasi dan ekonomi tersebut, Widjojo Nitisastro tetap menjadi tokoh sentral yang memainkan peran penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Berita ini dibuat oleh Arsila Dwi Lestari, Dinda Nur Fadilah, Jacinda Luby Belvana, Yusuf Waishol.